17 Agustus 2007

Akad Nikah

(Kontrak Kesepakatan Membangun Kesejahteraan Rumah Tangga)
Oleh Ustadz Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam benak banyak orang, perkawinan menempati posisi ideal yang bisa menawarkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan harapan besar ini, banyak orang kemudian tidak siap menghadapi kenyataan ketika kehidupan perkawinan ternyata tidak menghadirkan keindahan. Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan, justru ketika hidup dalam bahtera perkawinan. Mereka tidak mau mengantisipasi agar dalam perkawinannya tidak terjatuh sebagai korban kekerasan. Bentuk ketidaksiapan lain adalah penolakan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga ke pihak kepolisian. Penolakan ini tidak hanya berangkat dari kekhawatiran terhadap terbukanya aib keluarga, tetapi juga ketakutan terhadap merosotnya citra perkawinan di mata masyarakat.

Ketika perkawinan diwacanakan sebagai kontrak kesepakatan yang sejak awal harus disadari kedua mempelai, banyak orang juga tidak menyetujui gagasan ini. Ketidaksetujuan ini mungkin juga berakar pada ketakutan penodaan citra perkawinan di masyarakat. Dalam diskursus keislaman juga hampir sama, kebanyakan orang lebih memilih menyatakan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral atau ibadah. Sekalipun semua orang mengenal bahwa perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sesuatu yang dalam fiqh dianggap ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji. Seharusnya perkawinan diwacanakan sebagai sesuatu yang tidak sama dengan shalat, puasa, dan haji, agar yang muncul dalam perkawinan adalah soal hak dan kewajiban, bukan perintah ketaatan atau anjuran ketundukkan yang buta.

Pensakralan terhadap perkawinan, mungkin awalnya dimaksudkan agar semua orang berhati-hati dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Tidak mudah patah semangat dan tidak mudah mengajukan gugatan cerai. Praktiknya, pensakralan justru mempersulit banyak orang untuk menemukan makna keindahan dalam perkawinan. Pensakralan juga mengungkung dan mempersulit orang untuk keluar dari prahara perkawinan, ketika prahara itu benar-benar sudah terjadi. Banyak orang, terutama perempuan hanya dikonstruksikan untuk menunaikan kewajiban dalam perkawinan, daripada untuk mendapatkan hak-hak yang harus diperoleh.

Anjuran Islam untuk Menikah
Menikah, di samping sebagai ibadah, juga seringkali disosialisasikan sebagai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ada sebuah teks yang menyatakan bahwa dengan menikah seseorang sudah dianggap beragama separuh, tinggal meraih separuh yang lain.

Dari Anas radhiyallahu anhu, dikatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa saja yang menikah, ia telah menguasai separuh agamanya. Hendaklah ia bertakwa (kepada Allah) atas separuh yang lain”. Redaksi hadis ini diriwayatkan Ibn al-Jawzi, tetapi dia sendiri menilainya lemah. Dalam redaksi lain, yang diriwayatkan Imam al-Hakim, dari Anas radhiyallahu anhu, berkata: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang dianugerahi istri shalihah, sungguh ia telah dibantu dalam separuh urusan agama, maka bertakwalah (kepada Allah) atas separuh yang lain”. (Riwayat Ibn al-Jawzi, lihat: Kasyf al-Khafa, II/239, no. hadis: 2432).

Dalam catatan komentar Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H), teks-teks hadis seperti ini sebenarnya lemah, sehingga hanya bisa dipahami substansinya saja, tidak pada kebenaran detail literalnya. Substansinya adalah mengenai motivasi dan anjuran menikah. Anjuran ini ada dalam berbagai riwayat hadis (Fath al-Bari, X/139). Di antaranya mengenai menikah sebagai sunnah Nabi Dari Aisyah radhiyallahu anha, berkata: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Menikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah karena aku akan senang atas jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Siapa yang telah memiliki kesanggupan, menikahlah. Jika tidak, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. hadis: 2833).

Ada redaksi lain yang senafas dan kedudukannya lebih shahih (valid) riwayat Imam Bukhari yaitu Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, berkata: “Ada tiga orang mendatangi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah yang dilakukan Nabi. Ketika diberitahu, mereka merasa sangat jauh dari apa yang dilakukan Nabi. Mereka berkata: “Kami jauh sekali dari apa yang dilakukan Nabi, padahal beliau sudah diampuni dari segala dosa”. Satu orang dari mereka berkata: “Kalau begitu, saya akan shalat sepanjang malam selamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan berpuasa setahun penuh selamanya”. Orang ketiga berkata: “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan berkata: “Apakah kamu yang berkata ini dan itu tadi? Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kamu, tetapi aku tetap kadang berpuasa dan kadang tidak berpuasa, ada waktu untuk shalat dan ada waktu untuk tidur istirahat, dan aku juga menikah dengan perempuan. Siapa yang enggan dengan sunnahku, ia tidak termasuk golongan ummatku”. (Riwayat Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadis: 5063).

Dalam teks hadis ini, perkawinan tidak menjadi satu-satunya yang disebut sebagai sunnah. Tetapi juga tidur-bangun dan makan-berpuasa, serta tentu menikah. Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam komentarnya terhadap teks hadis ini menyatakan bahwa yang dimaksud ‘sunnah’ adalah jalan yang biasa dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, pernyataan Nabi ‘tidak termasuk golonganku’ bagi yang tidak menikah, tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam, hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah. Jika penolakan atau pilihan itu karena alasan yang pantas diajukan. Lain halnya, jika penolakan itu memang berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidakbenaran menikah, maka ia bisa dianggap keluar dari agama Islam.

Sekalipun dalam teks hadis ini menikah dinilai sebagai sunnah, tetapi dalam kajian fiqh, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah, karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada banyak argumentasi yang diajukan dalam pembicaraan ini. Setidaknya, teks hadis yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah. Ketika pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, berarti ia tidak menjadi pilihan satu-satunya, karena pasti ada kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, sehingga dia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadis Ibn Majah di atas menyebutkan secara eksplisit pilihan untuk tidak menikah itu dengan ungkapan ‘berpuasalah’.

Ada teks hadis lain yang lebih shahih: Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa yang tidak mampu, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya”. (Riwayat Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadis: 5066).

Menikah dalam teks hadis ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Berarti bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau mungkin kesiapan tertentu, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam komentar Ibn Hajar terhadap teks hadis ini, orang yang tidak mampu menikah (misalnya, berhubungan seksual) justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam bahasan fiqh, menikah tidak melulu dihukumi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadis di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan nafkah atau jaminan kesejahteraan.

Imam al-Ghazali (w. 505H), misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Sebaliknya, ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah. (lihat: Fath al-Bari, X/139).

Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, wajib, makruh dan bahkan bisa pula haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan bahwa nikah bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah. Jika tidak dilakukan, ia bisa terjerumus pada perzinaan. Nikah juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap istri (atau suami,—red.), baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Menjadi sunnah, jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: Fath al-Bari, X/138-139).

Pernyataan ulama fiqh ini menyiratkan betapa ungkapan ‘menikah adalah sunnah’ tidak bisa dipahami secara literal dan berlaku secara umum. Ungkapan ini merupakan motivasi agar setiap orang mengkondisikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat. Dengan kondisi seperti ini, semua orang akan termotivasi dan terdorong untuk menikah dan memperbaiki kehidupan pernikahannya. Dalam realitas kehidupan, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, di mana pernikahan juga bisa mendatangkan kenistaan dan kekerasan. Ulama fiqh telah begitu cermat membaca teks hadis ‘menikah sunnah’ dalam konteks realitas kehidupan nyata, sehingga hukum nikah bisa saja menjadi wajib, makruh, bahkan haram.

Menikah bisa menjadi haram karena dalam Islam ada yang lebih prinsip dari sekadar menikah atau tidak menikah, yaitu keadilan, antikezaliman dan kekerasan. Jika suatu perbuatan akan mengakibatkan kemudharatan, maka dapat dipastikan bahwa sesuatu itu secara prinsip dilarang dalam Islam. Berdasar hal ini, setiap perkawinan yang akan mengakibatkan kenistaan pada salah satu pihak, perempuan atau laki-laki, atau keduanya, maka harus dicegah dan diharamkan. Dengan demikian, pembicaraan ‘sunnah menikah’ sejak awal harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang lebih mendasar; keadilan, kesetaraan dan antikezaliman.

Untuk mengondisikan agar pernikahan tidak jatuh menjadi makruh atau haram, sebaiknya diupayakan pra-kondisi dengan melihat pernikahan sebagai suatu praktik sosial dan kesepakatan dua insan. Keterlibatan dan intervensi manusia, dalam hal ini kedua mempelai, menjadi sangat penting agar mereka benar-benar tidak jatuh dalam kenistaan pernikahan. Keterlibatan untuk merumuskan hak dan kewajiban kedua mempelai, mengkondisikan, menjaga dan melestarikannya. Hal ini hanya bisa terjadi, jika pernikahan menjadi sebuah kontrak kesepakatan antara kedua mempelai.

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan
Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H) menikah termasuk dalam urusan yang bukan ibadah, karena ia menyangkut dengan pemenuhan kebutuhan biologis manusia (lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VII/35). Dalam pembahasan fiqh, menikah juga dibicarakan sebagai akad atau kontrak yang tentu menuntut syarat-syarat sebuah kesepakatan, terutama kerelaan kedua belah pihak (tidak ada unsur paksaan), dan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh hak dan kewajiban secara setara dan berimbang.

Ketika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, merasa dipaksa diikat dalam sebuah kontrak pernikahan, maka ia memiliki hak yang penuh untuk membatalkan akad nikah tersebut. Seperti yang dituturkan Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan bahwa para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. (Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud, dan an-Nasa’i disebutkan bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam radhiyallahu ‘anha merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada Khansa: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki” (Nashb ar-Rayah, 3/232). Khansa pun akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya, Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir radhiyallahu ‘anha. Dari perkawinan ini ia dikaruniai anak bernama Saib bin Abu Lubabah.

Dalam riwayat Ibn Abbas radhiyallahu ‘anha disebutkan: “Suatu ketika ada seorang perempuan perawan (bikr) yang datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyatakan bahwa ayahnya memaksa dirinya menikah (dengan seseorang). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan (khiyâr) sepenuhnya kepada perempuan tersebut”. (Abu Dawud, Nikah bab 24: 2096 dan Ibn Majah, Nikah bab 12: 1875, al-Baihaqi, 7/189).

Teks-teks hadis ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan, apalagi menjadi alat penundukan perempuan untuk kerja-kerja yang memberatkan atau mencederainya. Perempuan harus diberikan pilihan sepenuhnya untuk memasuki atau tidak memasuki bahtera perkawinannya, pilihan pasangannya, dan kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan dirinya bisa merasa aman, sejahtera, dan bahagia. Ketika sudah memasuki bahtera perkawinan, setiap pasangan baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh untuk meneruskan atau menghentikan kesepakatan hidup bersama dalam perkawinan, karena alasan-alasan bisa mencederai makna kebersamaan tersebut. Yaitu apa yang dikenal dalam diskursus (kajian) fiqh dengan perceraian (thalaq), atau gugat cerai (khulu’).

Memang seharusnya kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki secara bersama-sama mengupayakan sekuat mungkin untuk menghindari perceraian, karena perceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kenyataan hidup, seringkali seseorang berhadapan dengan kondisi yang memaksanya untuk lebih memilih perceraian atau gugat cerai. Dalam kondisi seperti ini, setiap pasangan memiliki hak penuh untuk mengajukan gugatan perceraian.

Dalam sebuah teks hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa istri sahabat Tsabit bin Qays radhiyallahu ‘anhu suatu ketika mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak menganggap buruk perilaku Tsabit (suamiku), apalagi ibadahnya, tetapi aku tidak ingin terjadi kekufuran dalam kehidupan perkawinanku, bagaimana ya Rasul?”. Kemudian Rasulullah berkata: “Apakah kamu rela mengembalikan kebunnya (yang dulu menjadi maskawin dari Tsabit)?”. “Ya, aku rela”, jawab sang istri. Lalu Rasulullah berkata pada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia”. (Riwayat Bukhari, lihat: Subul as-Salam, III/166).

Dari beberapa teks hadis ini bisa disimpulkan bahwa menikah merupakan hak seseorang baik perempuan maupun laki-laki. Menikah bukan merupakan tuntutan kewajiban, apalagi menjadi alat penundukan dan (pemaksaan) ketaatan. Sebagai hak, maka setiap orang harus diberikan pilihan yang secara sadar bisa menentukan pasangan hidup yang bisa menjamin kebaikan dan tidak mendatangkan kenistaan bagi dirinya. Setiap orang menginginkan kehidupan perkawinan yang membahagiakan, karena itu segala sistem sosial yang terkait dengan perkawinan, harus dikondisikan untuk mencapai harapan kebahagiaan tersebut. Jika sistem atau nilai sosial yang lama dirasa tidak lagi memberi jaminan kebahagiaan, atau setidaknya membiarkan seseorang terjerumus dalam kenistaan perkawinan, maka tanpa ragu lagi harus diubah demi mewujudkan cita-cita kebahagiaan perkawinan.

Persis seperti yang digambarkan al-Qur’an bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kehidupan yang penuh dengan cinta, kasih-sayang, dan kedamaian. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh agar benar-benar bisa menemukan tujuan tersebut dalam perkawinan. Hal ini hanya bisa didapatkan ketika perkawinan diposisikan sebagai kontrak kesepakatan yang secara setara antara laki-laki dan perempuan, dan tidak dijadikan sebagai media penundukan yang membutakan antarpihak, apalagi penistaan.

Tidak ada komentar: