17 Agustus 2007

Blog Tips for Search Engine Optimization

Blogs are the current rage, and many webmasters have blogs but fail to use their blog to it's full potential. Blogs provide a steady stream of fresh content, and if this content is written and managed properly, blogs have the ability to increase a website's ranking in the search engines.

1. Host Your Own Blog

In order to prosper from a blog, be sure to host it on your own domain. Hosting the blog on your own server will maximize the links to your website. Link popularity is one of the factors search engines use to rank websites. Resist the urge to use free hosting services, do not give away your link popularity!

2. RSS Feeds

All blogs should have an RSS feed. An RSS feed will allow for your blog posts to be easily syndicated. The syndication will result in links back to your blog from RSS directories or others who display the feed. Blog entries should be available via an RSS feed. Website visitors who subscribe to the feed will receive notification when new blog posts are added. If the title is of interest, they will click through to your website. This gives subscribers an easy way to know when a blog has been updated.

3. Use White Space

Be sure to make your content scannable. Few website visitors actually read blog posts; most web visitors simply scan a blog entry to determine its relevance or point. With that in mind, the blog posts should be displayed in short paragraphs. Overly long posts should be segmented into concise paragraphs or broken into bulleted lists to make scanning easier. Avoid the urge to "clutter" the post.

4. Titles Matter

You only have seconds to grab the attention of scanners browsing your blog. Use keywords and catchy titles to draw readers in. Blog post titles can be bolded for emphasis and white space should be used to buffer the content.

5. Grammar Matters

You will be judged by your knowledge and use of the English language. Search engines will make note of blog entries that lack proper punctuation or capitalization. If a blog post does not respect the rules of grammar and punctuation, it is possible search engines will make the assumption that a bot cobbled together the posts leading to a potential ban.

6. Legibility

As with any web design select fonts carefully, do not use micro or macro-fonts. Colors should be web safe, making it easy to discern and read. The background and background color should not obscure the text.

7. Navigate

Give readers somewhere to go, include links to additional information resources or extended information in the blog post. Including links in the actual blog post will ensure back links should the RSS feed be syndicated.

8. Communicate

If you create a post about someone, let them know, they might surprise you and link back or they might blog about your blog post, essentially creating a virtual dialogue. This is an easy way to build link popularity. Be warned however, simply mentioning a popular blogger on a blog will rarely result in a link back, the content of the blog post must "grab" their interest.

9. Incorporate SEO

Blog posts should be written as you would write a web copy. Posts should be natural and make sense while still incorporating keywords and keyword phrases that relate to the content.

10. Speed Matters

Web pages that are slow to load will frustrate users, be sure to use reliable web hosting. Compress graphics to maximize load time.

Use your blog to help your website attract traffic. Attention to search engine optimization details could mean the difference between popular and unpopular.

About the Author:
Sharon Housley manages marketing for FeedForAll www.feedforall.com software for creating, editing, publishing RSS feeds and podcasts. In addition Sharon manages marketing for NotePage www.notepage.net a wireless text messaging software company.

Read More..

Akad Nikah

(Kontrak Kesepakatan Membangun Kesejahteraan Rumah Tangga)
Oleh Ustadz Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam benak banyak orang, perkawinan menempati posisi ideal yang bisa menawarkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan harapan besar ini, banyak orang kemudian tidak siap menghadapi kenyataan ketika kehidupan perkawinan ternyata tidak menghadirkan keindahan. Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan, justru ketika hidup dalam bahtera perkawinan. Mereka tidak mau mengantisipasi agar dalam perkawinannya tidak terjatuh sebagai korban kekerasan. Bentuk ketidaksiapan lain adalah penolakan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga ke pihak kepolisian. Penolakan ini tidak hanya berangkat dari kekhawatiran terhadap terbukanya aib keluarga, tetapi juga ketakutan terhadap merosotnya citra perkawinan di mata masyarakat.

Ketika perkawinan diwacanakan sebagai kontrak kesepakatan yang sejak awal harus disadari kedua mempelai, banyak orang juga tidak menyetujui gagasan ini. Ketidaksetujuan ini mungkin juga berakar pada ketakutan penodaan citra perkawinan di masyarakat. Dalam diskursus keislaman juga hampir sama, kebanyakan orang lebih memilih menyatakan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral atau ibadah. Sekalipun semua orang mengenal bahwa perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sesuatu yang dalam fiqh dianggap ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji. Seharusnya perkawinan diwacanakan sebagai sesuatu yang tidak sama dengan shalat, puasa, dan haji, agar yang muncul dalam perkawinan adalah soal hak dan kewajiban, bukan perintah ketaatan atau anjuran ketundukkan yang buta.

Pensakralan terhadap perkawinan, mungkin awalnya dimaksudkan agar semua orang berhati-hati dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Tidak mudah patah semangat dan tidak mudah mengajukan gugatan cerai. Praktiknya, pensakralan justru mempersulit banyak orang untuk menemukan makna keindahan dalam perkawinan. Pensakralan juga mengungkung dan mempersulit orang untuk keluar dari prahara perkawinan, ketika prahara itu benar-benar sudah terjadi. Banyak orang, terutama perempuan hanya dikonstruksikan untuk menunaikan kewajiban dalam perkawinan, daripada untuk mendapatkan hak-hak yang harus diperoleh.

Anjuran Islam untuk Menikah
Menikah, di samping sebagai ibadah, juga seringkali disosialisasikan sebagai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ada sebuah teks yang menyatakan bahwa dengan menikah seseorang sudah dianggap beragama separuh, tinggal meraih separuh yang lain.

Dari Anas radhiyallahu anhu, dikatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa saja yang menikah, ia telah menguasai separuh agamanya. Hendaklah ia bertakwa (kepada Allah) atas separuh yang lain”. Redaksi hadis ini diriwayatkan Ibn al-Jawzi, tetapi dia sendiri menilainya lemah. Dalam redaksi lain, yang diriwayatkan Imam al-Hakim, dari Anas radhiyallahu anhu, berkata: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang dianugerahi istri shalihah, sungguh ia telah dibantu dalam separuh urusan agama, maka bertakwalah (kepada Allah) atas separuh yang lain”. (Riwayat Ibn al-Jawzi, lihat: Kasyf al-Khafa, II/239, no. hadis: 2432).

Dalam catatan komentar Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H), teks-teks hadis seperti ini sebenarnya lemah, sehingga hanya bisa dipahami substansinya saja, tidak pada kebenaran detail literalnya. Substansinya adalah mengenai motivasi dan anjuran menikah. Anjuran ini ada dalam berbagai riwayat hadis (Fath al-Bari, X/139). Di antaranya mengenai menikah sebagai sunnah Nabi Dari Aisyah radhiyallahu anha, berkata: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Menikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah karena aku akan senang atas jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Siapa yang telah memiliki kesanggupan, menikahlah. Jika tidak, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. hadis: 2833).

Ada redaksi lain yang senafas dan kedudukannya lebih shahih (valid) riwayat Imam Bukhari yaitu Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, berkata: “Ada tiga orang mendatangi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah yang dilakukan Nabi. Ketika diberitahu, mereka merasa sangat jauh dari apa yang dilakukan Nabi. Mereka berkata: “Kami jauh sekali dari apa yang dilakukan Nabi, padahal beliau sudah diampuni dari segala dosa”. Satu orang dari mereka berkata: “Kalau begitu, saya akan shalat sepanjang malam selamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan berpuasa setahun penuh selamanya”. Orang ketiga berkata: “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan berkata: “Apakah kamu yang berkata ini dan itu tadi? Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kamu, tetapi aku tetap kadang berpuasa dan kadang tidak berpuasa, ada waktu untuk shalat dan ada waktu untuk tidur istirahat, dan aku juga menikah dengan perempuan. Siapa yang enggan dengan sunnahku, ia tidak termasuk golongan ummatku”. (Riwayat Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadis: 5063).

Dalam teks hadis ini, perkawinan tidak menjadi satu-satunya yang disebut sebagai sunnah. Tetapi juga tidur-bangun dan makan-berpuasa, serta tentu menikah. Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam komentarnya terhadap teks hadis ini menyatakan bahwa yang dimaksud ‘sunnah’ adalah jalan yang biasa dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, pernyataan Nabi ‘tidak termasuk golonganku’ bagi yang tidak menikah, tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam, hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah. Jika penolakan atau pilihan itu karena alasan yang pantas diajukan. Lain halnya, jika penolakan itu memang berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidakbenaran menikah, maka ia bisa dianggap keluar dari agama Islam.

Sekalipun dalam teks hadis ini menikah dinilai sebagai sunnah, tetapi dalam kajian fiqh, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah, karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada banyak argumentasi yang diajukan dalam pembicaraan ini. Setidaknya, teks hadis yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah. Ketika pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, berarti ia tidak menjadi pilihan satu-satunya, karena pasti ada kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, sehingga dia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadis Ibn Majah di atas menyebutkan secara eksplisit pilihan untuk tidak menikah itu dengan ungkapan ‘berpuasalah’.

Ada teks hadis lain yang lebih shahih: Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa yang tidak mampu, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya”. (Riwayat Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadis: 5066).

Menikah dalam teks hadis ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Berarti bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau mungkin kesiapan tertentu, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam komentar Ibn Hajar terhadap teks hadis ini, orang yang tidak mampu menikah (misalnya, berhubungan seksual) justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam bahasan fiqh, menikah tidak melulu dihukumi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadis di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan nafkah atau jaminan kesejahteraan.

Imam al-Ghazali (w. 505H), misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Sebaliknya, ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah. (lihat: Fath al-Bari, X/139).

Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, wajib, makruh dan bahkan bisa pula haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan bahwa nikah bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah. Jika tidak dilakukan, ia bisa terjerumus pada perzinaan. Nikah juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap istri (atau suami,—red.), baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Menjadi sunnah, jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: Fath al-Bari, X/138-139).

Pernyataan ulama fiqh ini menyiratkan betapa ungkapan ‘menikah adalah sunnah’ tidak bisa dipahami secara literal dan berlaku secara umum. Ungkapan ini merupakan motivasi agar setiap orang mengkondisikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat. Dengan kondisi seperti ini, semua orang akan termotivasi dan terdorong untuk menikah dan memperbaiki kehidupan pernikahannya. Dalam realitas kehidupan, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, di mana pernikahan juga bisa mendatangkan kenistaan dan kekerasan. Ulama fiqh telah begitu cermat membaca teks hadis ‘menikah sunnah’ dalam konteks realitas kehidupan nyata, sehingga hukum nikah bisa saja menjadi wajib, makruh, bahkan haram.

Menikah bisa menjadi haram karena dalam Islam ada yang lebih prinsip dari sekadar menikah atau tidak menikah, yaitu keadilan, antikezaliman dan kekerasan. Jika suatu perbuatan akan mengakibatkan kemudharatan, maka dapat dipastikan bahwa sesuatu itu secara prinsip dilarang dalam Islam. Berdasar hal ini, setiap perkawinan yang akan mengakibatkan kenistaan pada salah satu pihak, perempuan atau laki-laki, atau keduanya, maka harus dicegah dan diharamkan. Dengan demikian, pembicaraan ‘sunnah menikah’ sejak awal harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang lebih mendasar; keadilan, kesetaraan dan antikezaliman.

Untuk mengondisikan agar pernikahan tidak jatuh menjadi makruh atau haram, sebaiknya diupayakan pra-kondisi dengan melihat pernikahan sebagai suatu praktik sosial dan kesepakatan dua insan. Keterlibatan dan intervensi manusia, dalam hal ini kedua mempelai, menjadi sangat penting agar mereka benar-benar tidak jatuh dalam kenistaan pernikahan. Keterlibatan untuk merumuskan hak dan kewajiban kedua mempelai, mengkondisikan, menjaga dan melestarikannya. Hal ini hanya bisa terjadi, jika pernikahan menjadi sebuah kontrak kesepakatan antara kedua mempelai.

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan
Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H) menikah termasuk dalam urusan yang bukan ibadah, karena ia menyangkut dengan pemenuhan kebutuhan biologis manusia (lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VII/35). Dalam pembahasan fiqh, menikah juga dibicarakan sebagai akad atau kontrak yang tentu menuntut syarat-syarat sebuah kesepakatan, terutama kerelaan kedua belah pihak (tidak ada unsur paksaan), dan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh hak dan kewajiban secara setara dan berimbang.

Ketika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, merasa dipaksa diikat dalam sebuah kontrak pernikahan, maka ia memiliki hak yang penuh untuk membatalkan akad nikah tersebut. Seperti yang dituturkan Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan bahwa para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. (Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud, dan an-Nasa’i disebutkan bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam radhiyallahu ‘anha merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada Khansa: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki” (Nashb ar-Rayah, 3/232). Khansa pun akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya, Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir radhiyallahu ‘anha. Dari perkawinan ini ia dikaruniai anak bernama Saib bin Abu Lubabah.

Dalam riwayat Ibn Abbas radhiyallahu ‘anha disebutkan: “Suatu ketika ada seorang perempuan perawan (bikr) yang datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyatakan bahwa ayahnya memaksa dirinya menikah (dengan seseorang). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan (khiyâr) sepenuhnya kepada perempuan tersebut”. (Abu Dawud, Nikah bab 24: 2096 dan Ibn Majah, Nikah bab 12: 1875, al-Baihaqi, 7/189).

Teks-teks hadis ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan, apalagi menjadi alat penundukan perempuan untuk kerja-kerja yang memberatkan atau mencederainya. Perempuan harus diberikan pilihan sepenuhnya untuk memasuki atau tidak memasuki bahtera perkawinannya, pilihan pasangannya, dan kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan dirinya bisa merasa aman, sejahtera, dan bahagia. Ketika sudah memasuki bahtera perkawinan, setiap pasangan baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh untuk meneruskan atau menghentikan kesepakatan hidup bersama dalam perkawinan, karena alasan-alasan bisa mencederai makna kebersamaan tersebut. Yaitu apa yang dikenal dalam diskursus (kajian) fiqh dengan perceraian (thalaq), atau gugat cerai (khulu’).

Memang seharusnya kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki secara bersama-sama mengupayakan sekuat mungkin untuk menghindari perceraian, karena perceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kenyataan hidup, seringkali seseorang berhadapan dengan kondisi yang memaksanya untuk lebih memilih perceraian atau gugat cerai. Dalam kondisi seperti ini, setiap pasangan memiliki hak penuh untuk mengajukan gugatan perceraian.

Dalam sebuah teks hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa istri sahabat Tsabit bin Qays radhiyallahu ‘anhu suatu ketika mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak menganggap buruk perilaku Tsabit (suamiku), apalagi ibadahnya, tetapi aku tidak ingin terjadi kekufuran dalam kehidupan perkawinanku, bagaimana ya Rasul?”. Kemudian Rasulullah berkata: “Apakah kamu rela mengembalikan kebunnya (yang dulu menjadi maskawin dari Tsabit)?”. “Ya, aku rela”, jawab sang istri. Lalu Rasulullah berkata pada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia”. (Riwayat Bukhari, lihat: Subul as-Salam, III/166).

Dari beberapa teks hadis ini bisa disimpulkan bahwa menikah merupakan hak seseorang baik perempuan maupun laki-laki. Menikah bukan merupakan tuntutan kewajiban, apalagi menjadi alat penundukan dan (pemaksaan) ketaatan. Sebagai hak, maka setiap orang harus diberikan pilihan yang secara sadar bisa menentukan pasangan hidup yang bisa menjamin kebaikan dan tidak mendatangkan kenistaan bagi dirinya. Setiap orang menginginkan kehidupan perkawinan yang membahagiakan, karena itu segala sistem sosial yang terkait dengan perkawinan, harus dikondisikan untuk mencapai harapan kebahagiaan tersebut. Jika sistem atau nilai sosial yang lama dirasa tidak lagi memberi jaminan kebahagiaan, atau setidaknya membiarkan seseorang terjerumus dalam kenistaan perkawinan, maka tanpa ragu lagi harus diubah demi mewujudkan cita-cita kebahagiaan perkawinan.

Persis seperti yang digambarkan al-Qur’an bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kehidupan yang penuh dengan cinta, kasih-sayang, dan kedamaian. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh agar benar-benar bisa menemukan tujuan tersebut dalam perkawinan. Hal ini hanya bisa didapatkan ketika perkawinan diposisikan sebagai kontrak kesepakatan yang secara setara antara laki-laki dan perempuan, dan tidak dijadikan sebagai media penundukan yang membutakan antarpihak, apalagi penistaan.

Read More..

Mati Suri

Kesaksian Warga Bengkalis yang Mati Suri dalam Temu Alumni ESQ "Menyaksikan Orang Disiksa dan Ingin Kembali ke Dunia" Laporan Idris Ahmad - Pekanbaru

Pengalaman mati suri seperti yang dialami Aslina, telah pula dirasakan banyak orang. Seorang peneliti dan meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Virginia Dr Raymond A Moody pernah meneliti fenomena ini. Hasilnya orang mati suri rata-rata memiliki pengalaman yang hampir sama. Masuk lorong waktu dan ingin dikembalikan ke dunia.

Berikut catatan Riau Pos yang turut serta mendengarkan kesaksian Aslina dalam temu Alumni ESQ (emotional, spiritual, quotient) Ahad (24/9) di Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru.

Catatan ini dilengkapi pula dengan penjelasan instruktur ESQ Legisan Sugimin yang mengutip Al-Quran yang menjelaskan orang yang mati itu ingin dikembalikan ke dunia, serta penelusuran melalui internet tentang Dr Raymond. Bagi pembaca yang ingin pengetahui perihal Dr Raymond dapat membuka situs www.lifeafterlife.com dan hasil penelitian Raymond tentang mati suri dapat dibaca di buku Life After Life.

Aslina adalah warga Bengkalis yang mati suri 24 Agus tus 2006 lalu. Gadis berusia sekitar 25 tahun itu memberikan kesaksian saat nyawanya dicabut dan apa yang sisaksikan ruhnya saat mati suri.

Sebelum Aslina memberi kesaksian, pamannya Rustam Effendi memberikan penjelasan pembuka. Aslina berasal dari keluarga sederhana, ia telah yatim. Sejak kecil cobaan telah datang kepada dirinya.

Pada umur tujuh tahun tubuhnya terbakar api sehingga harus menjalani dua kali operasi. Menjelang usia SMA ia termakan racun. Tersebab itu ia menderita selama tiga tahun. Pada umur 20 tahun ia terkena gondok (hipertiroid). Gondok tersebut menyebabkan beberapa kerusakan pada jantung dan matanya. Karena penyakit gondok itu maka Jumat, 24 Agustus 2006 Aslina menjalani check-up atas gondoknya di Rumah Sakit Mahkota Medical Center (MMC) Melaka Mala ysia . Hasil pemeriksaan menyatakan penyakitnya di ambang batas sehingga belum bisa dioperasi.

"Kalau dioperasi maka akan terjadi pendarahan," jelas Rustam. Oleh karena itu Aslina hanya diberi obat. Namun kondisinya tetap lemah. Mala mnya Aslina gelisah luar biasa, dan terpaksa pamannya membawa Aslina kembali ke Mahkota sekitar pukul 12 malam itu.
Ia dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD), saat itu detak jantungnya dan napasnya sesak.Lalu ia dibawa ke luar UGD masuk ke ruang perawatan. "Aslina seperti orang ombak (menjelang sakratulmaut, red).

Lalu saya ajarkan kalimat thoyyibah dan syahadat. Setelah itu dalam pandangan saya Aslina menghembuskan nafas terakhir, ungkapnya. Usai Rustam memberi pengantar, lalu Aslina memberikan kesaksiaanya.

"Mati adalah pasti. Kita ini calon-calon mayat, calon penghuni kubur," begitu ia mengawali kesaksiaanya setelah meminta seluruh hadirin yang memenuhi Grand Ball Room Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru tersebut membacakan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Tak lupa ia juga menasehati jamaah untuk memantapkan iman, amal dan ketakwaan sebelum mati datang. "Saya telah merasakan mati," ujar anak yatim itu.

Hadirin terpaku mendengar kesaksian itu. Sungguh, lanjutya, terlalu sakit mati itu.
Diceritakan, rasa sakit ketika nyawa dicabut itu seperti sakitnya kulit hewan ditarik dari daging, dikoyak. Bahkan lebih sakit lagi. "Terasa malaikat mencabut (nyawa, red) dari kaki kanan saya," tambahnya. Di saat itu ia sempat diajarkan oleh pamannya kalimat thoyibah. "Saat di ujung napas, saya berzikir," ujarnya.
"Sungguh sakitnya, Pak, Bu," ulangnya di hadapan lebih dari 300 alumni ESQ Pekanbaru.

Diungkapkan, ketika ruhnya telah tercabut dari jasad, ia menyaksikan di sekelilingnya ada dokter, pamannya dan ia juga melihat jasadnya yang terbujur. Setelah itu datang dua malaikat serba putih mengucapkan Assalaimualaikum kepada ruh Aslina." Malaikat itu besar, kalau memanggil, jantung rasanya mau copot,
gemetar," ujar Aslina menceritakan pengalaman matinya. Lalu malaikat itu bertanya: "siapa Tuhanmu, apa agamamu, dimana kiblatmu dan siapa nama orangtuamu. " Ruh Aslina menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Lalu ia dibawa ke alam barzah. "Tak ada teman kecuali amal," tambah Aslina yang Ahad malam itu berpakaian serba hijau.

Seperti pengakuan pamannya, Aslina bukan seorang pendakwah, tapi malam itu ia tampil memberikan kesaksian bagaikan seorang muballighah. Di alam barzah ia melihat seseorang ditemani oleh sosok yang mukanya berkudis, badan berbulu dan mengeluarkan bau busuk. Mungkin sosok itulah adalah amal buruk dari orang tersebut.

Aslina melanjutkan. "Bapak, Ibu, ingatlah mati," sekali lagi ia mengajak hadirin untuk bertaubat dan beramal sebelum ajal menjemput.

Di alam barzah, ia melanjutkan kesaksiannya, ruh Aslina dipimpin oleh
dua orang malaikat. Saat itu ia ingin sekali berjumpa dengan ayahnya. Lalu ia memanggil malaikat itu dengan "Ayah". ''Wahai ayah bisakah
saya bertemu dengan ayah saya,'' tanyanya. Lalu muncullah satu sosok. Ruh Aslina tak mengenal sosok yang berusia antara 17-20 tahun itu. Sebab ayahnya meninggal saat berusia 65 tahun. Ternyata memang benar, sosok muda itu adalah ayahnya.

Ruh Aslina mengucapkan salam ke ayahnya dan berkata: "Wahai ayah, janji saya telah
sampai." Mendengar itu ayah saya saya menangis. Lalu ayahnya berkata kepada Aslina. "Pulanglah ke rumah, kasihan adik-adikmu. " ruh Aslina pun menjawab. "Saya tak bisa pulang, karena janji telah sampai".

Usai menceritakan dialog itu, Aslina mengingatkan kembali kepada hadirin bahwa alam barzah dan akhirat itu benar-benar ada.

"Alam barzah, akhirat, surga dan neraka itu betul ada. Akhirat adalah kekal," ujarnya bak seorang pendakwah.

Setelah dialog antara ruh Aslina dan ayahnya. Ayahnya tersebut menunduk. Lalu dua malaikat memimpinnya kembali, ia bertemu dengan perempuan yang beramal shaleh yang mukanya bercahaya dan wangi. Lalu ruh Aslina dibawa ke kursi yang empuk dan didudukkan di kursi tersebut, disebelahnya terdapat seorang perempuan yang menutup aurat, wajahnya cantik. Ruh Aslina bertanya kepada perempuan itu. "Siapa kamu?"
lalu perempuan itu menjawab."Akulah (amal) kamu."

Selanjutnya ia dibawa bersama dua malaikat dan amalnya berjalan menelurusi lorong waktu melihat penderitaan manusia yang disiksa. Di sana ia melihat seorang laki-laki yang memikul besi seberat 500 ton, tangannya dirantai ke bahu, pakaiannya koyak-koyak dan baunya menjijikkan. Ruh Aslina bertanya kepada amalnya. "Siapa manusia ini?" Amal Aslina menjawab orang tersebut ketika hidupnya suka membunuh orang.

Lalu dilihatnya orang yang yang kulit dan dagingnya lepas. Ruh Aslina bertanya lagi ke amalnya tentang orang tersebut. Amalnya mengatakan bahwa manusia tersebut tidak pernah shalat bahkan tak bisa mengucapkan dunia kalimat syahadat ketika di dunia.

Selanjutnya tampak pula oleh ruh Aslina manusia yang dihujamkan besi ke tubuhnya. Ternyata orang itu adalah manusia yang suka berzina. Tampak juga orang saling bunuh, manusia itu ketika hidup suka bertengkar dan mengancam orang lain.

Dilihatkan juga pada ruh Aslina, orang yang ditusuk dengan 80 tusukan, setiap tusukan terdapat 80 mata pisau yang tembus ke dadanya, lalu berlumuran darah, orang tersebut menjerit dan tidak ada yang menolongnya. Ruh Aslina bertanya pada amalnya. Dan dijawab orang tersebut adalah orang juga suka membunuh.

Tampak pula orang berkepala babi dan berbadan babi. Orang tersebut adalah orang yang suka berguru pada babi. Ada pula orang yang dihempaskan ke tanah lalu dibunuh. Orang tersebut adalah anak yang durhaka dan tidak mau memelihara orang tuanya ketika di dunia.

Perjalanan menelusuri lorong waktu terus berlanjut. Sampailah ruh Aslina di malam yang gelap, kelam dan sangat pekat sehingga dua malaikat dan amalnya yang ada disisinya tak tampak. Tiba-tiba muncul suara orang mengucap : Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar.Tiba-tiba ada yang mengalungkan sesuatu di lehernya. Kalungan itu ternyata tasbih yang memiliki biji 99 butir.

Perjalanan berlanjut. Ia nampak tepak tembaga yang sisi-sisinya mengeluarkan cahaya, di belakang tepak itu terdapat gambar kakbah. Di dalam tepak terdapat batangan emas.
Ruh Aslina bertanya pada amalnya tentang tepak itu. Amalnya menjawab tepak tersebut adalah husnul khatimah. (Husnul khatimah secara literlek berarti akhir yang baik. Yakni keadaan dimana manusia pada akhir hayatnya dalam keadaan (berbuat) baik,red).

Selanjutnya ruh Aslina mendengarkan azan seperti azan di Mekkah. Ia pun mengatakan kepada amalnya. ''Saya mau shalat.'' Lalu dua malaikat yang memimpinnya melepaskan tangan ruh Aslina.

''Saya pun bertayamum, saya shalat seperti orang-orang di dunia shalat,'' ungkap Aslina.

Selanjutnya ia kembali dipimpin untuk melihat Masjid Nabawi. Lalu diperlihatkan pula kepada ruh Aslina, makam Nabi Muhammad SAW. Dimakam tersebut batangan-batangan emas di dalam tepak ''husnul khatimah'' itu mengeluarkan cahaya terang. Berikutnya ia melihat cahaya seperti matahari tapi agak kecil. Cahaya itu pun bicara kepada ruh Aslina. ''Tolong kau sampaikan kepada umat, untuk bersujud di hadapan Allah.''

Selanjutnya ruh Aslina menyaksikan miliaran manusia dari berbagai abad berkumpul di satu lapangan yang sangat luas. Ruh Aslina hanya berjarak sekitar lima meter dari kumpulan manusia itu. Kumpulan manusia itu berkata. ''Cepatlah kiamat, aku tak tahan lagi di sini Ya Allah.'' Manusia-manusia itu juga memohon. ''Tolong kembalikan aku ke dunia, aku mau beramal.''

Begitulah di antara cerita Aslina terhadap apa yang dilihat ruhnya saat ia mati suri. Dalam kesaksiaannya ia senantiasa mengajak hadirin yang datang pada pertemuan alumni ESQ itu untuk bertaubat dan beramal shaleh serta tidak melanggar aturan Allah.

Setelah kesaksian Aslina, instruktur Pelatihan ESQ Legisan Sugimin yang telah mendapat lisensi dari Ary Ginanjar (pengarang buku sekaligus penemu metode Pelatihan ESQ) menjelaskan bahwa fenomena mati suri dan apa yang disaksikan oleh orang yang mati suri pernah diteliti ilmuan Barat.

Legisan mengemukakan pula, mungkin di antara alumni ESQ yang hadir pada Ahad (24/9) malam itu ada yang tidak percaya atau ragu terhadap kesaksian Aslina. Tapi yang jelas, lanjutnya, rata-rata orang yang mati suri merasakan dan melihat hal yang hampir sama.

''Apa yang disampaikan Aslina, mungkin bukti yang ditunjukkan Allah kepada kita semua'' ujarnya.Legisan menjelaskan penelitian oleh Dr Raymond A Moody Jr tentang mati suri.
Raymond mengemukakan orang mati suri itu dibawa masuk ke lorong waktu, di sana ia melihat rekaman seluruh apa yang telah ia lakukan selama hidupnya. Dan diakhir pengakuan orang mati suri itu berkata: ''Dan aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya.''

Menanggapi kesaksian Aslina yang melihat orang-orang berteriak ingin dikembalikan ke dunia dan ingin beramal serta penelitian Raymond yang menyebutkan ''aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya,'' Legisan mengutip ayat Al-Quran Surat Al-Mu'muninun (23) ayat 99-100: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata:''Ya, Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).''(99) . Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (100).

Sebagai penguat dalil agar manusia bertaubat, dikutipkan juga Quran Surat Az-Zumar ayat 39: ''Dan kembalilah kamu kepada Tuhan-Mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).''

Usai pertemuan alumni itu, Aslina meminta nasehat dari Legisan. Intruktur ESQ itu menyarankan agar Aslina senatiasa berdakwah dan menyampaikan kesaksiaannya saat mati suri kepada masyarakat agar mereka bertaubat dan senantiasa mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Setelah acara, banyak di antara alumni yang bersimpati dan ingin membantu pengobatan sakit gondoknya. Para hadirinpun menyempatkan diri untuk berfoto bersama Aslina.

Semoga pembaca dapat mengambil pelajaran dari kesaksiaan

Read More..

17 Juli 2007

Techniques For Accelerating Personal Growth

The most fascinating theme in any movie is the transformation of the main character, who evolves from a lower state of awareness to a higher one. Although this theme is repeated with minor variations in one movie after another, people do not tire of it because it represents their own story.

The meaning of life may itself be entirely about personal growth. Enlightenment is the final vision, where you see everything in a whole new light, with the universe and your neighbors as part of a massive conspiracy of beauty, elegance, love, and wisdom.

Personal growth happens by default.

Life itself forces it to happen.

The more stimulating the environment, the more it challenges you to accelerate your personal growth.

Personal growth can be defined as the evolution of awareness, a journey from a narrow, dysfunction perspective to a broader, functional one. It is an expansion of perception.

The reason why it can be thought of as an evolutionary force is because it is the result of adaptation to a stressor. All problems are due to an error in perception; a challenge is posed by the environment for you to adapt or suffer the consequences of failure.

For example, a poor state of health is due to a physical challenge, a rocky relationship is due to an interaction challenge, and a scarcity of finances is due to an economic challenge.
The reason it is a challenge is because it threatens your sense of well-being, and failure to
respond in a more adaptive way is to experience the collapse of what you need.

In a nutshell, personal growth happens when your inner map of how the world works is incorrect. You discover that your perception is inaccurate because your experience is misaligned with your desire.

What is needed is more information, an upgrade of your inner map. New streets need to be drawn in, new paths need to be discovered.

Every problem is an evolutionary taunt.

For example, if you are being financially challenged, what is needed is a new model on how to earn more and manage your money better. A bill that you do not have the means to pay is a financial challenge.

Adaptation occurs when new information is learned. This information changes the structure of the challenge. The result of your mental upgrade about what works now
becomes your new model. Using the money example, new information may come in the form of learning how to make more money. This information is then available for you to respond to the world in a more functional way.

Life is constantly posing challenges like this and we are constantly learning how to adapt to these pressures. Each successfully resolved challenge is soon followed by another challenge at the next level. Each unsuccessfully resolved challenge results in your staying at your current level. It's called "feeling stuck" or "in a rut."

This is the process of personal growth.

The growth proceeds along two trajectories: vertical and horizontal.

Vertical growth is learning something new and the new knowledge then fashions a new reality. Our college years, with its academic challenges, is probably the time of the most accelerated personal growth. Similarly, starting a new business or raising a new family are all vertical growth experiences.

Horizontal growth is integrating this new information. You are adjusting to the changes stimulated by vertical growth.

Furthermore, this growth also advances on three levels: ego-centric, ethno-centric, and world-centric. Each is a developmental stage.

In the ego-centric stage, your focus is on improving your own personal experience. In the ethno-centric stage, your focus is on improving your group. This could be an ethnic group, a religious group, or a national group; in other words, any particular tribe that makes you feel that you are one of its members. In the world-centric stage, your focus is on improving things for everyone.

Each stage is not necessarily clearly delineated. The higher stage may incorporate some features of the lower stage. In addition, each stage is broken up into further developmental stages.

The more challenges you overcome, the more you evolve to inhabit a higher stage. In addition, each stage has sub-stages which have to be transcended.

Factoring in the idea of incarnation, most people may spend their whole life in only one sub-stage or may move through several sub-stages but not leave their main stage. Other people may evolve from one stage to another. A few, rare individuals move through all the stages. Those who hit the final sub-stage of the final stage are considered enlightened and do not need to stay on the karmic wheel.

These growth stages also apply to cultures and civilizations.

While growth happens by default; it can also be engineered, or artificially stimulated.

This process is called learning.

Throughout history, those who choose to be self-evolving, do it using two specific methods.

One is using the imagistic aspect of mind and the other is through the linguistic aspect of mind. One can, of course, use both aspects of mind. Usually, however, most people have a predominant and favorite method. It is similar to how most people make one hand more dominant than the other, while only a few are ambidextrous.

Using the imagistic method, or visual thinking, remarkable progress can be made.
Those with a scientific bent appear to favor this method. Kekule dropped off to sleep by a fireplace, had a dream about a snake swallowing its own tail, and developed the basis of all organic chemistry, the benzene ring. Einstein precipitated the biggest leap in Science since Newton by day dreaming about a train ride on a beam of light.

In terms of the Jungian model of the mind: this would incorporate intellect, intuition, feeling, and sensation. For example, Kekule had a dream, which includes intuition, emotion and a tactile sense. Upon awakening, he then used intellect to define the benzene ring.

This method of visual thinking is as powerful as the transition between Roman numerals and Arabic numerals. Using Roman numerals, for example, the mathematics needed to create String theory in Physics would have been impossible. Since, to date, String theory is neither empirical nor observable, it could not exist without mathematics. Considering that this may very well end up being a complete theory of everything, you will appreciate the value of the use of Arabic numerals.

Another method is the Socratic Method, which is about 2,300 years old.

The Socratic method is essentially asking and answering questions. Questions probe consciousness and stimulate a search for answers.

This method is not to be confused with the didactic teaching that is referred to as modern education.

The Socratic method was used during the era of Classical Greece and the Renaissance, two epochs that produced more highly intelligent people than has ever been known.

The reason these two methods are so powerful is because they disrupt "neuronal habituation" the phenomenon that with a constant signal, nerves and brain fall sleep.
Changing the stimulation causes the brain to start working in a new and unusual way.

Ironically, our current educational methods across the globe stimulate only a limited amount of personal growth because they result in the stabilization of signals, creating
neuronal habitation. Subjectively, people claim to fall asleep or drift into a day dream during a class session. They miss the lesson because the repeated signal created boredom and disassociation. It did not provoke them to move beyond passivity.

With these two methods, learning becomes interactive and stimulating, resulting in a quantum leap in personal growth.

You don't have to wait for all the right conditions before you can experience vertical growth; you can invite it to happen through choosing immersion in new, stimulating, life-affirming information.

Article Source: http://ArticleCrux.com -- Free Articles, Free Web Content
Saleem Rana would love to share his inspiring ideas His book Never Ever Give Up tells you how. It is offered at no cost as a way to help YOU succeed. The Empowered Soul

Read More..